SPIRITUALITAS
DAN TEKNOLOGI DI ERA PANDEMI COVID-19:
Praksis Iman Kristen "Tergerus atau Tergerak" oleh
Efektivitas Teknologi di Era Pandemi?
Meilina S. Sariri1
Abstrak
Praksis
iman, merupakan suatu aksi yang memperlihatkan nilai-nilai kekristenan di
tengah dunia, maka toleransi dan solidaritas merupakan dua masalah yang menjadi
perhatian penulis sehingga muncullah tulisan ini. Tulisan ini bermaksud memberi
sumbangan pemikiran di mana di dalamnya tidak lepas dari pengalaman dalam
bermasyarakat dengan harapan dapat menjadi pengetahuan dan refleksi untuk hidup
dengan mempertahankan spirit nilai-nilai kekristenan tanpa tergerus oleh
teknologi yang kian masif perkembangan dan penggunaannya di masa pandemi.
Penulis berusaha mengkaji secara kritis efektivitas teknologi di masa
pandemi, dengan melihat realitas yang terjadi dalam lingkungan masyarakat
terhadap jiwa toleransi dan solidaritas yang di mana pada kesempatan ini
mengambil dua hal tersebut sebagai bagian dari praksis iman kristiani.
Kata kunci; Teknologi,
Toleransi, Solidaritas, Pandemi.
![]() |
1
Mahasiswa S1 Theologia di STT INTIM Makassar, Utusan GKI Papua, Angkatan 2018,
semester 7. Email: meilinasariri@gmail.com
Pendahuluan
Makalah
ini di dasari oleh keprihatinan penulis dalam melihat solidaritas dan rasa
kemanusiaan dengan sesama yang sangat minim selama masa pandemi. Dalam
keterbatasan hidup untuk menjalin relasi dengan lingkungan yang lebih luas oleh
karena pandemi sepertinya membuat sebagian orang menjadi semakin eksklusif dan
individualis. Tak hanya pada tatanan relasi dan solidaritas, timbul pula
pertanyaan bahwa bagaimana keadaan kualitas iman orang-orang percaya selama
pandemi? Apakah gereja sebagai lembaga menaruh perhatian yang besar terhadap
perkembangan kualitas iman jemaat? Atau apakah semata- mata karena keterbatasan
dalam pandemi yang membuat sebagai orang menjadi eksklusif dan tidak memaknai
dengan baik nilai-nilai iman Kristen? Lalu bagaimana dengan cyber? Sejauh mana
efektifitas teknologi yang terus berkembang dari waktu ke waktu, terlebih lagi
telah menjadi wadah dan alternative utama dan mendasar umat manusia selama masa
pandemic.
Covid-19 telah masuk di Indonesia dan menimbulkan dampak yang
begitu besar terhadap manusia. Sebagai usaha untuk mengurangi dampak penyebaran
virus ini maka, pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang diharapkan
mampu menekan penyebarannya. Kebijakan PSBB salah satunya yang diterapkan, di mana kebijakan ini mengharuskan semua orang musti
tinggal diam di dalam rumah sampai keadaan memungkinkan untuk kembali beraktivitas dengan normal. Namun kebijakan tersebut membuat hampir
semua orang menjadikan elektronik sebagai keharusan untuk dimiliki dan di akses mengingat kehidupan manusia secara mendadak
dialihkan ke dalam sistem jaringan/teknologi.
Manusia kemudian giat bermain media sosial dan
dianggap sangatlah penting. Ibaratnya teknologi sebagai sebuah pelengkap hidup
yang harus setia setiap saat dan serasa hidupnya tidak akan lengkap jika tidak
ada teknologi yang digenggam.
Media social merupakan laman atau aplikasi yang memungkinkan pengguna dapat membuat dan berbagi isi ataupun terlibat dalam jaringan sosial. Ketika mencermati, maka pengguna media social selama pandemic didominasi oleh para pelajar. Kebanyakan dari pelajar atau mahasiswa mengakses internet dengan menggunakan smartphone. Penggunaannya tentu berdampak pada kehidupan para pengguna, tak jarang terdengar berbagai macam kasus yang diakibatkan kesalahan dalam menggunakannya. Namun, dalam tulisan ini, penulis tidak akan fokus pada kasus-kasus tersebut, tetapi akan mengarah kepada efek atau pengaruh teknologi bagi para pengguna dalam hubungannya dengan orang lain diantaranya toleransi dan solidaritas. Tidak sedikit dari pengguna yang terkena dampak negatif dari penggunaan teknologi, salah satunya adalah menjadi sangat tergantung dan menghabiskan waktu berlarut-larut mengakses internet untuk mencapai kepuasan.
Berdasarkan hal di atas, maka penulis kemudian berusaha
menganalisis secara kritis persoalan yang menyebabkan timbulnya pertanyaan atas
praksis iman umat Allah dalam relasi dan solidaritas dengan umat manusia
lainnya dalam masa pandemi, dan hubungannya terhadap perkembangan teknologi
yang kian menjadi kebutuhan dasar manusia.
Efektivitas Teknologi di Era Pandemi
Sebelum
pandemi Covid-19 pada awal tahun 2019, teknologi telah menjadi alternative
dasar yang digunakan untuk berkomunikasi dan mengakses berbagai macam jejaring sosial (Instagram, facebook, line dll). Teknologi digital
kemudian berkembang pesat dengan tawaran-tawaran yang kian menarik dari waktu
ke waktu. Internet sangat menarik untuk dieksplorasi, digali, dan dikembangkan
baik oleh para ahli maupun pemerhati teknologi, serta semakin memikat untuk
para penggunanya.2 Tentu teknologi mengambil bagian penting dalam
kehidupan manusia, bahkan menjadi candu, dan sebagian orang menganggap bahwa
tidak akan bisa hidup tanpa teknologi. Teknologi merenggut kebiasaan baik yang seharusnya dirawat dalam segala situasi dan keadaan.
Wabah pandemi Covid-19 kemudian membawa perubahan drastis
bagi kehidupan manusia di seluruh belahan dunia. Kehadirannya merupakan suatu
peristiwa yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Virus ini telah menelan
jutaan jiwa manusia. Upaya untuk menghambat penyebarannya telah menghambat pula
kegiatan perekonomian dan berbagai macam kegiatan social lainnya. Pembelajaran
jarak jauh (PJJ) terpaksa dilakukan dengan mengalihkan semua proses
pembelajaran ke dalam jaringan/teknologi. Tak hanya pembelajaran, berbagai
macam kegiatan pekerjaan pun dialihkan ke dalam jaringan. Pada
satu sisi, teknologi sangatlah berpengaruh penting untuk menolong manusia dalam
berkomunikasi dan sebagai media untuk berkegiatan dan berinteraksi satu dengan
yang lainnya. Terutama kepada para pelajar di masa pandemic di mana internet/teknologi
menjadi kebutuhan yang sangat mendasar untuk tetap bisa sekolah dan belajar.
Oleh karena itu, internet sebagai bentuk kemajuan teknologi informasi ini
sangat memudahkan para penggunanya terutama di kalangan pelajar. Namun di sisi
lain, tanpa di sadari teknologi pun berhasil mempengaruhi spiritualitas
sebagian orang. Hal inilah yang mendasari penulis untuk
![]() |
2
Flora Honey Dermawan, Kecanduan internet pada mahasiswa program study kebidanan
sebagai dampak PJJ di era pandemic, mungkinkah?, PIN-LITAMAS II, Vol. 2, No. 1: 147
mengusung
pertanyaan dalam tema di atas bahwa apakah spiritualitas atau praksis iman
tergerus oleh pengaruh teknologi, ataukah para pengguna terkhusus orang Kristen mampu mengendalikan (tergerak) bahkan menggerakan
teknologi sekalipun dalam masa pandemi dimana
tawaran-tawaran jejaring sosial semakin meningkat?
Sehingga orang Kristen tetap mampu mengimani dan melakukan nilai-nilai
kekristenan dalam kehidupannya yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Persoalan
utama yang penulis angkat adalah relasi yang toleran dan solidaritas sebagai
praksis dari iman Kristen.
Banyak perdebatan mengenai spiritualitas orang Kristen selama
pandemi ini. Di mulai dengan mempertanyakan apakah ibadah virtual efektif
membangun jemaat? apakah semudah itu beralih dari gereja ke virtual? Tentu
model pelayanan ini tidaklah mudah, apalagi rata-rata gereja di Indonesia masih
belum menggunakan teknologi digital sebagai media untuk beribadah. Gereja
tiba-tiba harus belajar mengenai teknik merekam, baik dengan menggunakan
perangkat ponsel sederhana, ponsel pintar, hingga kamera canggih; mulai dari
merekam di rumah, di ruang ibadah, hingga secara khusus menyiapkan studio
rekaman.3 Peralihan aktivitas manusia ke dalam system jaringan
memang memiliki dampak yang positif, salah satunya yaitu orang-orang maupun
lembaga gereja dipaksa untuk mengusahakan diri dengan beradaptasi dan menguasai
teknik-teknik penggunaan alat maupun program-program internet itu sendiri.
Artinya bahwa manusia akan semakin mengerti dan bisa menjangkau jejaring media sosial yang ada. Apakah ada kekhawatiran akan hal itu? Ya,
menurut penulis, pengetahuan manusia terkhusu orang-orang Kristen akan sistem
teknologi di sisi lain bisa membahayakan. Selama pandemi Covid-19 berlangsung,
inilah yang dihadapi seluruh manusia di belahan dunia termasuk di dalamnya umat Kristiani. Diperhadapkan dengan sebuah
ruang yang memberikan pilihan untuk “tergerus
atau tergerak”. Berikut penulis melihat realitas yang terjadi kepada
sebagian orang Kristen yang terpengaruh oleh teknologi menurut hemat penulis;
yang pertama, jiwa yang toleran antar
sesama orang Kristen ataupun kepada orang-orang yang berbeda agama, suku,
maupun ras telah berkurang. Sebagian orang telah masuk dalam ruang cyber, yang membuatnya menjadi eksklusif dan tidak menaruh
perhatian yang baik terhadap lingkungannya yang berbeda. Sifatnya kemudian
menjadi individualis, tidak menerima hal-hal diluar ruang lingkupnya. Teknologi
adalah tempat ternyamannya untuk membiarkan diri digerus dan terjerat oleh berbagai macam tawarannya. Terdapat banyak
kasus di pemberitaan media yang menggambarkan bahwa
![]() |
3
Zakaria Ngelow dkk, Teologi Pandemi, “Panggilan Gereja di Tengah Pandemic
Covid-19”, (Makassar: Oase Intim, 2021), 141.
betapa
pengetahuan akan teknologi dan internet telah merusak pola pikir sebagian
orang. Kegiatan inilah yang kemudian menyita begitu banyak waktu yang
sebenarnya waktu tersebut bisa digunakan untuk melihat lingkungan sekitar yang
membutuhkan, mungkin saja dari sekedar saling menyapa satu dengan yang lain,
atau bahkan menjumpai hal yang membutuhkan kekuatan dan pertolongan dibandingkan
sekedar menutup diri dalam kekangan telepon pintar.
Yang kedua,
solidaritas kepada orang lain yang membutuhkan pertolongan terkhusus dalam masa
susah pandemic juga merosot. Andreas Yewangoe mengatakan bahwa
melalui pandemi Covid-19, orang dipanggil
untuk bertanggung jawab atas kesejahteraan manusia, diingatkan untuk saling bergantung, dan melalui kesempatan ini, untuk
menemukan keberanian dan kepedulian yang yang menopang. Yewangoe juga mengingatkan untuk kembali memperhatikan
keseimbangan antara budaya (culture) dan alam (nature).4 Sangat
disayangkan bahwa dalam situasi sulit pandemi, tidak semua orang memiliki
perhatian untuk menggerakan hatinya, dan menyatakan kasihnya dengan mengulurkan
tangan untuk menolong dan membantu orang-orang yang lebih membutuhkan. Jelas
bahwa orang miskin selamat pandemi sangat terdampak, mereka kebingungan untuk
memikirkan makanan di hari esok, dan tidak tahu bagaimana harus mencari uang
sedangkan aktivitas sangat dibatasi. Ternyata tidak salah ketika orang-orang
kecil selalu melawan aparat dan pemerintah ketika pemberlakuan pembatasan
kegiatan dikeluarkan, karena bahkan untuk makan sehari saja harus diusahakan
hari itu juga, tidak ada simpanan uang yang bisa digunakan selama berdiam diri
di rumah. Dari hal ini menjelaskan bahwa sebagian orang belum bisa bertanggung
jawab untuk orang lain, belum bisa menjadikan diri
sebagai sumber pertolongan, belum bisa menghidupkan rasa peduli dengan orang
lain, singkatnya bahwa solidaritas menjadi
merosot. Masih ingatkah dengan peristiwa di mana Yesus menyembuhkan orang buta
di jalan dekat Yerikho? Peristiwa penyembuhan
itu terjadi pada saat Yesus dan murid-murid-Nya melintasi kota Yerikho untuk terakhir kalinya sebelum tiba di Yerusalem, di mana
Yesus akan mati dan di salibkan. Orang buta tersebut duduk di pinggir jalan dan
mengemis. Yesus mendengar seruan orang buta yang sedang mengemis itu dan suara
imannya menggerakan hati Yesus untuk menolongnya dengan menyatakan mujizat
kesembuhan kepadanya. Dengan demikian bahwa Allah terlebih dahulu menyatakan
solidaritasnya kepada orang susah, menderita, miskin, dan orang yang lemah.
Ketika mengetahui dan mengerti akan hal tersebut, maka sebenarnya tidak ada
lagi alasan untuk tidak berlaku serupa dengan apa yang Yesus
![]() |
4
Andreas A. Yewango, Menakar Covid-19
secara Teologis, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2020), 19.
lakukan
yakni menanamkan jiwa solidaritas di dalam diri setiap orang percaya atau orang
Kristen. Penulis mengangkat toleransi dan juga solidaritas sebagai akar masalah
dalam tulisan ini di mana hal tersebut beranjak dari pengalaman dan pengamatan
di dalam lingkungan masyarakat. Terlepas dari pada praksis iman yang lebih
luas, kedua hal tersebut mengambil bagian dalam kesempatan ini untuk penulis
kaji lebih secara dalam.
Toleransi Sebagai Praksis Iman Di Masa Pandemi
Kurang
lebih dua tahun sudah dunia diliputi dengan pandemic Covid-19, negara Indonesia
termasuk di dalamnya yang masih berusaha melakukan penanganan untuk memulihkan
keadaan menjadi normal dan lepas dari cengkraman virus ini. Virus yang muncul
dari kota Wuhan, Ibu kota Provinsi Hubei di Republik Rakyat Cina, ini telah
memaksa untuk sejenak beranjak dari aktifitas luar rumah dan membatasi untuk
saling berinteraksi satu dengan yang lainnya.
Ketika ‘’relasi’’ menjadi suatu persoalan bahwa manusia menjadi eksklusif, maka tidak bisa dipungkiri bahwa pandemi membatasi interaksi dengan lingkungan bebas dan luas, sehingga komunikasi sangat terbatas, pergaulan yang tidak luas, dan pengenalan akan orang lain pun terbatas. Lantas apakah sekarang akan menyalahkan keadaan atas realitas yang terjadi dalam diri sebagian orang yang telah eksklusif? Ataukah pasrah dengan kondisi yang bahkan membuat tidak berdaya dan hidup dalam keterbatasan? Tak hanya kekangan pandemi, perbedaan menjadi salah satu alasan mengapa “relasi” tidak terjalin dengan baik, bahkan sebelum pandemic hal ini telah menjadi pembicaraan yang sangat hangat. Ellya Duta Makarawung membagi perbedaan menjadi 4 jenis yakni; agama, denominasi, rasialisme, dan kemewahan dan materialisme.5 Teknologi menjadi dasar dari persoalan ini. Penulis pernah mendengar suatu pernyataan dalam sebuah kegiatan webinar beberapa waktu lalu, bahwa kemudahan mengakses internet nyatanya mengubah pola hubungan interpersonal yang menentukan norma dalam bertindak dan berinteraksi. Masifnya perkembangan teknologi tidak lagi terbatas dalam melihat penggunanya, semua kalangan, anak-anak, remaja, pemuda, orang tua, orang kaya, orang miskin dan golongan-golongan lainnya telah berhasil mengakses teknologi dengan fitur jejaring sosial yang ditawarkan. Internet menjadi sebuah sistem jaringan yang mengantar
5 Ellya
Duta Makarawung, Sangkar Emas Agama, (Solo:
Spirit Grafindo, 2017), 43.
manusia
ke dalam dunia baru syber (cyberspace).6
Inilah adalah ruang metaforis yang ada dalam pikiran manusia, terutama ketika
bercakap-cakap dengan orang lain, seolah-olah sedang bertemu dalam ruang
tertentu.7 Brauchler juga mengatakan;
“Virtual of refer to the ‘imaginary’ which is integral
component of the ‘real’ human world, but can still differ qualitatively”.8
Kehidupan di dunia maya adalah kelanjutan “dengan kehidupan
nyata”. Orang-orang melakukan online hampir
seperti apa yang mereka lakukan saat offline
tetapi dengan cara yang berbeda. Dengan demikian bahwa, efektivitas
teknologi cukup dalam bagi kehidupan para penggunanya, termasuk umat Kristen.
Sangat baik ketika manusia sebagai pengguna “tergerak”
untuk mengendalikan arus teknologi, tetapi dengan melihat realitas di atas
bahwa, justru orang-orang dikendalikan oleh arus teknologi yang semakin masif
berkembang di era pandemic. Penyebabnya apa? Apakah karena tidak siap untuk
menerima dan beradaptasi dengan perkembangan zaman, ataukah keterbatasan dalam melihat dan mempelajari sistem-sistem yang baru?
Mungkin banyak penelitian di luar sana yang bisa menjawab pertanyaan tersebut
dengan pemaparan yang lebih jelas. Namun untuk saat ini, menurut hemat penulis
bahwa ketidaksiapan untuk menerima dan beradaptasi dengan perkembangan zaman
adalah penyebabnya. Semua orang
dikagetkan dengan sebuah wabah penyakit yang seketika
mengubah dunia dan manusia dengan perubahan pola
hidup dari luar ruangan ke dalam jaringan. Sesuatu yang sangat tiba-tiba dan
mengagetkan manusia yang tanpa persiapan lalu harus memasuki kebiasaan yang
baru di dalam jaringan. Suatu tuntutan yang sulit untuk dihadapi.
Toleransi menjadi salah satu hal yang utama dalam menciptakan
kedamaian dan kesejahteraan di dalam perbedaan sebagai praksis beriman orang
Kristen. Seperti yang diketahui bahwa pada masa pandemic ini sangat sulit atau bahkan tidak sebebas dulu
untuk melakukan kegiatan di luar rumah, meskipun demikian namun mestinya hal itu tidak menyurutkan semangat untuk saling menghargai
dan membantu orang lain sebagai wujud toleransi yang bisa dinyatakan dalam kehidupan sehari-hari, supaya hal ini
menjadi bukti bahwa sekalipun di era pandemi Covid-19 ini, tetap bisa saling
bertoleransi kepada umat beragama dan kepada perbedaan-peredaan lainnya tanpa
adanya sikap egoisme. Sebuah
![]() |
6
Mick M. Sopacoly & Izak Y.M.. Lattu, Christianity Online Spirituality “Cyber
Theology as a Contribution to Theology in Indonesia”. Gema Teologika, Vol.5 No.2, (Oktober 2020): 141.
7
Anthony Le Duc, Cyber/Digital Theology: Rethinking About Our Relationship With
God and Neighbor in Digital Environment”, Religion
and Social Communication, Vol. 13. No. 2, (Desember 2015):130.
8
Birgit Brauchler, Cyberidentities at War,
(New York: Berghahn, 2013), 14.
ayat
Alkitab mengatakan bahwa, “setiap orang
di antara kita harus mencari kesenangan sesama kita demi kebaikannya untuk
membangunnya” (Rom. 15:2). Ayat tersebut merujuk kepada semua orang dengan
perintah untuk saling membangun satu dengan yang lain. Artinya bahwa tindakan
intoleransi atau menolak perbedaan adalah tindakan yang menolak untuk saling
membangun satu dengan yang lain. Penerimaan terhadap perbedaan merupakan
tindakan untuk saling membangun, baik dalam keadan lemah maupun susah, sama
halnya dengan keadaan banyak orang dalam era pandemi Covid-19 ini.
Sepertinya sulit ketika berbicara tentang perbedaan tanpa ada
keterbukaan hati untuk menerima perbedaan itu sendiri. Terbukti bahwa istilah “toleransi” sudah ada sejak lama, namun
masih saja menjadi pembahasan hingga di masa sekarang ini, kenapa? Karena tidak
semua orang bisa rendah hati untuk menerima orang lain yang berbeda, bahkan
dalam situasi prihatin seperti dalam masa pandemi. Dalam situasi pandemi
Covid-19 sudah seharusnya orang-orang Kristen tidak bersikap egois atau hanya memperdulikan diri sendiri melainkan hendaknya menunjukkan kepedulian
terhadap orang lain. Kepedulian itu dapat terlihat, misalnya, ketika menjaga
diri supaya tidak tertular ataupun menularkan virus. Jangan sampai orang
Kristen menjadi egois, demi kesenangan diri sendiri, akhirnya menjadi tidak
peduli dengan kesehatan orang lain.
Solidaritas Sebagai Praksis Iman Di Masa Pandemi
Relasi
yang tidak berkembang dengan baik tidak hanya menjebak seseorang dalam eksklusivisme. Solidaritas yang merupakan praksis dari iman Kristen pun
kian memprihatinkan. Ketika penularan Covid-19 meluas menjadi pandemi,
pemerintah Indonesia pun segera menerapkan aturan penjarakan social (social distancing) dan penjarakan fisik
(physical distancing), kebijakan ini telah berdampak pada pendapatan dan daya topang
kehidupan ekonomi sehari-hari sebagian warga masyarakat hingga sulit memenuhi
kebutuhan mereka. Kebijakan ini telah menyebabkan banyak pekerja yang
dirumahkan dan atau di- PHK, terutama mereka yang bekerja di sektor non-formal.9 Berdasarkan hal tersebut, maka
tentu begitu banyak masyarakat yang terdampak dari segi ekonomi dan dominan
pada masyarakat kelas menengah ke bawah. Bantuan pemerintah dan lembaga-lembaga
kemudian dikerahkan untuk menolong mereka yang membutuhkan. Namun bagaimana
dengan secara individu? Sekarang sedang berbicara tentang solidaritas. Dalam
keadaan di mana
![]() |
9Zakaria Ngelow dkk, Teologi Pandemi, “Panggilan
Gereja di Tengah Pandemic Covid-19”, (Makassar: Oase Intim, 2021), 54
masyarakat
miskin menjerit dalam ketidakmampuan untuk hidup, maka yang masih mampu dan
berkecukupan sedang di uji jiwa kemanusiaannya. Ini salah satu tanggung jawab
sebagai manusia untuk saling membangun satu dengan yang lainnya dengan berakar
pada solidaritas. Sebagai orang Kristen, memang mungkin tidak dapat menjawab
alasan terjadinya pandemic, tetapi dapat ikut berbela rasa, termasuk meratap
bersama, sebagai wujud kepedulian di tengah kesusahan.10 Sebagai
orang yang telah menerima anugerah tebusan Yesus Kristus di atas kayu salib,
maka telah dibenarkan oleh-Nya. oleh karena itu, sebagai orang benar, tentu
harus bertindak sesuai dengan kebenaran suci. Nabi Yeheskiel menjelaskan
tentang apa dan bagaimana menjadi orang benar menurut tradisi Perjanjian Lama sebagai
berikut:
"Kalau seseorang adalah orang benar, dan ia melakukan
keadilan dan kebenaran, dan ia tidak makan daging persembahan di atas gunung
atau tidak melihat kepada berhala-berhala kaum Israel, tidak mencemari isteri
sesamanya dan tidak menghampiri perempuan waktu bercemar kain, tidak menindas
orang lain, ia mengembalikan gadaian orang, tidak merampas apa- apa, memberi
makan orang lapar, memberi pakaian kepada orang telanjang, tidak memungut bunga
uang atau mengambil riba, menjauhkan diri dari kecurangan, melakukan hukum yang
benar di antara manusia dengan manusia, hidup menurut ketetapan-Ku, dan tetap
mengikuti peraturan-Ku dengan berlaku setia ialah orang yang benar, dan ia
pasti hidup, demikianlah firman Tuhan Allah." (Yeh. 18:5-9; 18:10-13, 16-17).
Penulis mengingat sebuah kisah haru yang memperlihatkan
ketulusan hati memberi dari kekurangan dan keterbatasan. Singkat cerita, kami
mahasiswa STT Intim Makassar menjalankan aksi kemanusiaan dengan meminta
sumbangan di lampu merah Cendrawasih beberapa saat yang lalu, di mana hasil
sumbangan itu akan kami berikan kepada saudara-saudara di Walmasi yang terkena
bencana banjir. Yang menarik perhatian beberapa kami yang menyaksikan bahwa ada
seorang difabel yang berjalan menggunakan kursi roda yang terbuat dari kayu
turut memberikan sumbangannya. Yang semakin membuat haru adalah, beliau
memiliki kotak yang terhubung dengan kursinya, fungsi kotak itu adalah untuk
meminta sedekah. Artinya bahwa kami dan orang tua tersebut sedang dalam posisi
dan keadaan yang sama, yakni meminta sumbangan atau sedekah. Sebuah realitas
praksis iman
![]() |
10 Brury Eko Saputra dan Linus Baito, Berteologi di tengah Pandemi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2021),
71.
telah
diperlihatkan oleh orang tua yang murah hati tersebut. Penulis menjulukinya
sebagai ‘’the power of solidarity’’.
Selama menjalankan aksi di lampu merah, kami menjadi saksi nyata, bahwa yang
tergerak hatinya untuk memberikan sumbangan hanya mereka yang justrus berasal
dari kalangan bawah. Begitu banyak orang yang melintas dengan menggunakan
seragam dinas dan plat kendaraan berwarna merah, hanya saja tidak
memberikan perhatian terhadap aksi yang kami jalankan. Apakah ini yang
dinamakan "krisis solidaritas di kalangan
penguasa?" Tindakan orang tua di atas mengingatkan pada perilaku baik
orang-orang Kristen di tengah kondisi yang susah sudah terjadi sejak zaman para
rasul. Salah satunya di mana Paulus memakai teladan orang Kristen di Makedonia
supaya mendorong orang Kristen di Korintus untuk juga kaya dalam pelayanan
kasih, ‘’selagi dicobai dengan berat dalam pelbagai penderitaan, sukacita
mereka meluap, dan meskipun mereka sangat miskin, namun mereka kaya dalam
kemurahan.’’(2 kor. 8:2). Penulis pernah mendengar dari berita Televisi yang
mengatakan bahwa selama masa pandemic, justrus ada oknum-oknum tertentu dalam
pemerintahan yang tambah kaya. "Orang kaya
tambah kaya, orang miskin tambah miskin." Mungkin istilah tersebut bisa
menggambarkan keadaan ekonomi masyarakat selama pandemic berlangsung. akibatnya, masyarakat
miskinlah yang harus merasakan penderitaan dalam mengusahakan hidupnya untuk
tetap bertahan.
Refleksi Teologis Dari Kitab Suci
Dari
penjelasan di atas, dapat di mengerti bahwa pengaruh teknologi di
masa pandemi telah “menggerus” iman
sebagian orang Kristen. Nilai-nilai kekristenan tidak menjadi perhatian dalam
kehidupan sehari-hari. Terbuka menerima kemajemukan, dan solidaritas terhadap
orang-orang yang membutuhkan pertolongan tidak lagi dilihat sebagai bagian dari tanggung jawab untuk dipenuhi. Ketika
kembali ke dalam kitab suci, maka kembali diingatkan untuk berefleksi dari apa yang telah diajarkan selaku
orang- orang yang beriman kepada Yesus Kristus. Melba Padilla Maggay, menjelaskan
hukum- hukum dalam Perjanjian Lama yang mengatur pertolongan kepada kaum miskin
dan lemah.
Larangan untuk
menuntut Bunga pinjaman kepada orang miskin. Pakaian yang digadaikan harus
dikembalikan pada pemiliknya sebelum matahari terbenam agar yang bersangkutan
dapat melindungi tubuhnya ketika malam. Seorang budak boleh memilih untuk bebas
setelah enam tahun masa bakti. Demikian juga tanah harus dikosongkan setiap
diolah selama enam tahun agar dapat dimanfaatkan pada tahun ketujuh oleh orang
miskin (kel. 22:25-27, 21:2, 23:11). Orang-orang di dorong untuk tidak
mengeraskan hati atau menutup tangannya terhadap mereka yang membutuhkan
pertolongan (Ul.
15:7-11). Hasil panen juga harus ditinggal sebagian bagi para musafir, kaum
yatim, dan janda (Ul. 24:19-21). Kemudian di dalam kitab Perjanjian Baru, Yesus
menyuruh murid-murid-Nya untuk menjual miliknya dan memberikan sedekah (Luk.
12:33). Di situ juga dicatat kisah orang Samaria yang baik hati sebagai teladan
untuk menolong sesama manusia dengan cara sangat bermurah hati (Luk.10:25-37).
Yesus juga menyatakan bahwa Zakheus diselamatkan pada waktu ia menawarkan untuk
membagikan separuh hartanya kepada orang miskin (Luk. 19:8- 9). Sebaliknya Ia
memberikan komentar kepada orang kaya yang tidak bersedia menjual seluruh
miliknya dan memberikan hasilnya kepada orang miskin.11
Ketika menyadari bahwa nilai-nilai Kristen tidak lagi menjadi
prioritas bahkan memudar dalam kehidupan sehari-hari, maka perlu adanya
refleksi terhadap apa yang menjadi dasar sebagai orang Kristen yaitu Alkitab.
Perlu kembali ke dalam Alkitab. Dengan cara demikian, maka akan terus dibaharui
oleh firman Allah yang memberikan ajaran, nasehat-nasehat, teguran, dan bahkan
akan menolong untuk kembali kepada apa yang seharusnya dilakukan.
Kesadaran untuk menganggap sesama sebagai saudara manusia
akan membawa pada kehidupan persaudaraan yang rukun dan sejahtera, di mana di
dalamnya toleransi atas perbedaan akan junjung tinggi, solidaritas sebagai rasa
kemanusiaan terhadap sesama yang membutuhkan juga akan menjadi perhatian.
Magnis Suseno mengatakan bahwa, orang percaya diutus untuk ikut
membangun masyarakat.13 Artinya bahwa perlu bertanggungjawab untuk memberikan harapan kepada mereka
yang putus asa, memberikan perlindungan kepada yang lemah, dan menolong orang
miskin. Lebih lanjut dalam penjelasannya bahwa dasar partisipasi untuk orang
lain dapat diwujudkan dalam beberapa aspek sosial;
Setiap orang
bernilai pada dirinya sendiri dan oleh karena itu harus diperlakukan sebagai
tujuan pada dirinya sendiri. semua orang sebagai manusia, bernilai sama, sama
derajatnya, otonomi dasar setiap orang sebagaimana terungkap dalam suara hati
dan kemampuan untuk bertanggung jawab harus dihormati. Tuntutan kesetiakawanan
dengan segenap sesama sebagai saudara Kristus. Perhatian khusus terhadap mereka
yang lemah, miskin, yang menderita, dan yang diperlakukan dengan tidak adil.14
“Sesamaku adalah
pribadiku yang lain”. Semboyan yang dipopulerkan oleh salah satu dosen, Ishak Ngerjaratan, telah menjadi ciri yang khas
bagi mahasiswa STT Intim dalam menjalin dan membangun persaudaraan satu dengan
yang lain. Semboyan tersebut hendaknya terus dipegang teguh dalam jiwa setiap orang untuk hidup dalam kedamaian dan kesejahteraan. Sejatinya,
dalam situasi dan keadaan mencekam Covid-19, orang-orang atau umat Kristen
musti lebih giat dalam melihat situasi yang membutuhkan pertolongan. Bukan
malah sebaliknya, tidak peka dan tidak prihatin terhadap keadaan orang-orang
yang menderita. Pandemi Covid-19 adalah kesempatan bagi orang- orang Kristen
untuk semakin mengalami Tuhan dalam hidup mereka. pengalaman itu dapat
![]() |
13 Magnis Suseno dkk, Aspek-Aspek Teologi Sosial, (Yogyakarta: Kanisius,1988), 177.
14 Magnis, Aspek-Aspek
Teologi Sosial, 179.
terjadi
melalui praktik kebijakan dan pergumulan iman mereka.15 Mari mulai
dari diri sendiri
sebagai individu. Penulis memaknai pernyataan Joas Adiprasetya bahwa, spiritualitas sebaiknya beranjak dari personal atau
diri sendiri sebagai individu, karena yang personal selalu bermakna ketika ia
dihidupi dalam realitas interpersonal, komunal, social, bahkan global.16
Orang-orang miskin dalam mengusahakan kehidupannya tidaklah
muda. Namun bukan berarti kehidupan dan perjuangannya tidak diperhitungkan oleh
Allah. Pada kesempatan ini, penulis akan memberikan sebuah ayat di mana menunjukan
posisi orang- orang miskin bukan posisi rendahan. Memang di mata manusia dan
dunia orang-orang miskin tidak mendapat tempat yang layak, tetapi di mata dan
pandangan Allah, orang-orang miskin memiliki tempat yang khusus bahkan dikatakan bahwa merekalah yang empunya kerajaan sorga. Hal ini dapat
disaksikan melalui dialog Yesus dengan Yohanes
Pembaptis:
“Di dalam penjara Yohanes Pembaptis mendengar tentang
kerajaan- pekerjaan Yesus, lalu menyuruh murid-muridnya bertanya kepada-Nya:
Engkaukah yang akan datang itu, atau, haruskah kami menantikan orang lain?
Yesus menjawab merek: pergilah dan beritakanlah Yohanes apa yang kamu dengar
dan kamu lihat: Orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi
tahir, orang tuli mendengar, orang mati di bangkitkan, dan kepada orang miskin
akan diberitakan kabar baik” (Mat.11:2-5). Orang miskin memiliki tempat yang khusus.
Kepada mereka diberitakan Kerajaan Allah. Berbahagialah kamu yang miskin,
karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah” (Luk. 6:20). “Roh Tuhan ada di atasku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk
menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin” (Luk. 4:18).
Sekiranya ayat di atas menjadi penghibur dan kekuatan bagi
orang-orang miskin, untuk tetap hidup dengan rasa syukur di dalam hidupnya.
Berlandaskan dari ayat Alkitab di atas, maka dapat di pahami bahwa kaum miskin
atau orang-orang miskin bukan lagi kaum yang tertindas, yang tidak memiliki
kedudukan dan hak suara dalam masyarakat. Kedatangan kerajaan Allah berarti
pengakhiran kemiskinan, dan memulihkan kelemahan. Maka dari itu, tidak ada lagi
alasan bagi orang-orang miskin untuk menyerah dalam menghadapi hari-hari
![]() |
15 Brury,
Berteologi di tengah Pandemi, 71.
16 Joas Adiprasetya,
labirin Kehidupan, Spiritualitas Sehari-Hari bagi Peziarah Iman, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2018), 57.
hidupnya.
Poin pentingnya bahwa sebagai orang-orang benar yang telah diselamatkan oleh Yesus Kristus di atas kayu salib, maka kewajiban
untuk berlaku sebagai orang-orang yang memang telah diselamatkan dengan cara mengimplementasikan nilai-nilai kekristenan
dalam segala situasi, dan dalam hal ini menjalin hubungan yang baik dan toleran
dengan orang yang berbeda, dan memiliki jiwa-jiwa solidaritas terhadap segala
sesuatu yang dijumpai dimanapun berada, dan
dalam situasi apapun tanpa memandang status dan perbedaan.
Penutup
Praksis iman “tergerus atau tergerak” oleh efektivitas teknologi di era pandemi Covid-19? Suatu tema yang membawa pada kesimpulan bahwa spiritualitas sebagian orang Kristen telah "tergerus" oleh pengaruh teknologi yang tidak bisa terkendalikan dengan baik oleh diri setiap pengguna dalam era pandemi ini. Teknologi komunikasi telah membuat besarnya dunia tak lebih dari genggaman tangan, peristiwa di ujung dunia sangat cepat diakses, hanya dengan satu klik.17 Terkurung dalam jaringan membuat sebagian orang eksklusif dan menutup diri dari lingkungan yang terbuka. Kesadaran untuk menerima orang lain, juga kesadaran untuk membaurkan diri ke dalam suatu perkumpulan yang lebih luas yang di dalamnya tersaji kemajemukan pun dihindari. Seolah-olah dunia terlihat sangat asing dan enggan untuk mendekatkan diri. Seketika orang lain menjadi musuh yang harus dihindari untuk tidak mendapatkan kesakitan, diam dengan adaptasi yang baru bersama "telepon pintar" lebih menarik dan telah menjadi zona nyaman yang menjadi candu. Solidaritas yang telah diajarkan oleh Yesus tidak lagi diimani dalam kehidupan sehari-hari umat-Nya. Tanggungjawab diri terhadap orang lain menjadi pudar dan tidak dipenuhi. Tolong menolong, saling mengasihi, saling memperhatikan, dan yang lainnya tidak lagi lihat sebagai suatu keharusan. Dalam situasi yang sangat sulit inilah mestinya rasa empati sebagai umat Kristen tidak boleh pudar. Refleksi di atas sekiranya mendapat tempat di dalam hati masing- masing sebagai pembaca tulisan ini, dan penulis berharap bahwa praksis beriman tetap pegang teguh dalam kehidupan sebagai orang-orang yang telah dibenarkan oleh Yesus Kristus di atas kayu salib.
17 Meitha Sartika & Hizkia A. Gunawan, Ecclesia In Transitu, Gereja di tengah
Perubahan Zaman, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018), 37.
Daftar pustaka
Alkitab
Adiprasetya,
Joas. labirin Kehidupan, Spiritualitas
Sehari-Hari bagi Peziarah Iman. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018.
Brauchler, Birgit . Cyberidentities
at War. New York: Berghahn, 2013.
Dermawan,
Flora Honey. Kecanduan internet pada mahasiswa program study kebidanan sebagai
dampak PJJ di era pandemic, mungkinkah?, PIN-LITAMAS
II, Vol. 2, No. 1: 147 (2020).
Duc,
Anthony Le.Cyber/Digital Theology: Rethinking About Our Relationship With God
and Neighbor in Digital Environment”, Religion
and Social Communication, Vol. 13. No. 2, (2015).
Makarawung , Ellya Duta. Sangkar Emas Agama. Solo: Spirit
Grafindo, 2017. Maggay, Melba Padilla.
Transformasi Masyarakat. Jakarta: Cultivate, 2004.
Ngelow , Zakaria. Teologi Pandemi, “Panggilan Gereja di Tengah Pandemic Covid-19”.
Makassar:
Oase Intim, 2021.
Nafy’, M. Zidni. Menjadi Islam, Menjadi Indonesia, Jakarta: Kompas Gramedia, 2018.
Suseno, Magnis dkk. Aspek-Aspek Teologi
Sosial. Yogyakarta: Kanisius,1988.
Sopacoly,
Mick M, & Lattu,Izak Y.M. Christianity Online Spirituality “Cybertheology
as a Contribution to Theology in Indonesia”. Gema Teologika, Vol.5 No.2, (2020).
Sartika,
Meitha. & Gunawan, Hizkia A. Ecclesia
In Transitu, Gereja di tengah Perubahan Zaman. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2018.
Yewango,
Andreas A. Menakar Covid-19 secara
Teologis. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar