Selasa, 16 November 2021

Spiritualitas dan Teknologi di Era Pandemi

SPIRITUALITAS DAN TEKNOLOGI DI ERA PANDEMI COVID-19:

Praksis Iman Kristen "Tergerus atau Tergerak" oleh Efektivitas Teknologi di Era Pandemi?

Meilina S. Sariri1

Abstrak

Praksis iman, merupakan suatu aksi yang memperlihatkan nilai-nilai kekristenan di tengah dunia, maka toleransi dan solidaritas merupakan dua masalah yang menjadi perhatian penulis sehingga muncullah tulisan ini. Tulisan ini bermaksud memberi sumbangan pemikiran di mana di dalamnya tidak lepas dari pengalaman dalam bermasyarakat dengan harapan dapat menjadi pengetahuan dan refleksi untuk hidup dengan mempertahankan spirit nilai-nilai kekristenan tanpa tergerus oleh teknologi yang kian masif perkembangan dan penggunaannya di masa pandemi. Penulis berusaha mengkaji secara kritis efektivitas teknologi di masa pandemi, dengan melihat realitas yang terjadi dalam lingkungan masyarakat terhadap jiwa toleransi dan solidaritas yang di mana pada kesempatan ini mengambil dua hal tersebut sebagai bagian dari praksis iman kristiani.

Kata kunci; Teknologi, Toleransi, Solidaritas, Pandemi.

 

 


1 Mahasiswa S1 Theologia di STT INTIM Makassar, Utusan GKI Papua, Angkatan 2018, semester 7. Email: meilinasariri@gmail.com


Pendahuluan

Makalah ini di dasari oleh keprihatinan penulis dalam melihat solidaritas dan rasa kemanusiaan dengan sesama yang sangat minim selama masa pandemi. Dalam keterbatasan hidup untuk menjalin relasi dengan lingkungan yang lebih luas oleh karena pandemi sepertinya membuat sebagian orang menjadi semakin eksklusif dan individualis. Tak hanya pada tatanan relasi dan solidaritas, timbul pula pertanyaan bahwa bagaimana keadaan kualitas iman orang-orang percaya selama pandemi? Apakah gereja sebagai lembaga menaruh perhatian yang besar terhadap perkembangan kualitas iman jemaat? Atau apakah semata- mata karena keterbatasan dalam pandemi yang membuat sebagai orang menjadi eksklusif dan tidak memaknai dengan baik nilai-nilai iman Kristen? Lalu bagaimana dengan cyber? Sejauh mana efektifitas teknologi yang terus berkembang dari waktu ke waktu, terlebih lagi telah menjadi wadah dan alternative utama dan mendasar umat manusia selama masa pandemic.

Covid-19 telah masuk di Indonesia dan menimbulkan dampak yang begitu besar terhadap manusia. Sebagai usaha untuk mengurangi dampak penyebaran virus ini maka, pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang diharapkan mampu menekan penyebarannya. Kebijakan PSBB salah satunya yang diterapkan, di mana kebijakan ini mengharuskan semua orang musti tinggal diam di dalam rumah sampai keadaan memungkinkan untuk kembali beraktivitas dengan normal. Namun kebijakan tersebut membuat hampir semua orang menjadikan elektronik sebagai keharusan untuk dimiliki dan di akses mengingat kehidupan manusia secara mendadak dialihkan ke dalam sistem jaringan/teknologi. Manusia kemudian giat bermain media sosial dan dianggap sangatlah penting. Ibaratnya teknologi sebagai sebuah pelengkap hidup yang harus setia setiap saat dan serasa hidupnya tidak akan lengkap jika tidak ada teknologi yang digenggam.

Media social merupakan laman atau aplikasi yang memungkinkan pengguna dapat membuat dan berbagi isi ataupun terlibat dalam jaringan sosial. Ketika mencermati, maka pengguna media social selama pandemic didominasi oleh para pelajar. Kebanyakan dari pelajar atau mahasiswa mengakses internet dengan menggunakan smartphone. Penggunaannya tentu berdampak pada kehidupan para pengguna, tak jarang terdengar berbagai macam kasus yang diakibatkan kesalahan dalam menggunakannya. Namun, dalam tulisan ini, penulis tidak akan fokus pada kasus-kasus tersebut, tetapi akan mengarah kepada efek atau pengaruh teknologi bagi para pengguna dalam hubungannya dengan orang lain diantaranya toleransi dan solidaritas. Tidak sedikit dari pengguna yang terkena dampak negatif dari penggunaan teknologi, salah satunya adalah menjadi sangat tergantung dan menghabiskan waktu berlarut-larut mengakses internet untuk mencapai kepuasan.

Berdasarkan hal di atas, maka penulis kemudian berusaha menganalisis secara kritis persoalan yang menyebabkan timbulnya pertanyaan atas praksis iman umat Allah dalam relasi dan solidaritas dengan umat manusia lainnya dalam masa pandemi, dan hubungannya terhadap perkembangan teknologi yang kian menjadi kebutuhan dasar manusia.

Efektivitas Teknologi di Era Pandemi

Sebelum pandemi Covid-19 pada awal tahun 2019, teknologi telah menjadi alternative dasar yang digunakan untuk berkomunikasi dan mengakses berbagai macam jejaring sosial (Instagram, facebook, line dll). Teknologi digital kemudian berkembang pesat dengan tawaran-tawaran yang kian menarik dari waktu ke waktu. Internet sangat menarik untuk dieksplorasi, digali, dan dikembangkan baik oleh para ahli maupun pemerhati teknologi, serta semakin memikat untuk para penggunanya.2 Tentu teknologi mengambil bagian penting dalam kehidupan manusia, bahkan menjadi candu, dan sebagian orang menganggap bahwa tidak akan bisa hidup tanpa teknologi. Teknologi merenggut kebiasaan baik yang seharusnya dirawat dalam segala situasi dan keadaan.

Wabah pandemi Covid-19 kemudian membawa perubahan drastis bagi kehidupan manusia di seluruh belahan dunia. Kehadirannya merupakan suatu peristiwa yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Virus ini telah menelan jutaan jiwa manusia. Upaya untuk menghambat penyebarannya telah menghambat pula kegiatan perekonomian dan berbagai macam kegiatan social lainnya. Pembelajaran jarak jauh (PJJ) terpaksa dilakukan dengan mengalihkan semua proses pembelajaran ke dalam jaringan/teknologi. Tak hanya pembelajaran, berbagai macam kegiatan pekerjaan pun dialihkan ke dalam jaringan. Pada satu sisi, teknologi sangatlah berpengaruh penting untuk menolong manusia dalam berkomunikasi dan sebagai media untuk berkegiatan dan berinteraksi satu dengan yang lainnya. Terutama kepada para pelajar di masa pandemic di mana internet/teknologi menjadi kebutuhan yang sangat mendasar untuk tetap bisa sekolah dan belajar. Oleh karena itu, internet sebagai bentuk kemajuan teknologi informasi ini sangat memudahkan para penggunanya terutama di kalangan pelajar. Namun di sisi lain, tanpa di sadari teknologi pun berhasil mempengaruhi spiritualitas sebagian orang. Hal inilah yang mendasari penulis untuk


2 Flora Honey Dermawan, Kecanduan internet pada mahasiswa program study kebidanan sebagai dampak PJJ di era pandemic, mungkinkah?, PIN-LITAMAS II, Vol. 2, No. 1: 147


mengusung pertanyaan dalam tema di atas bahwa apakah spiritualitas atau praksis iman tergerus oleh pengaruh teknologi, ataukah para pengguna terkhusus orang Kristen mampu mengendalikan (tergerak) bahkan menggerakan teknologi sekalipun dalam masa pandemi dimana tawaran-tawaran jejaring sosial semakin meningkat? Sehingga orang Kristen tetap mampu mengimani dan melakukan nilai-nilai kekristenan dalam kehidupannya yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Persoalan utama yang penulis angkat adalah relasi yang toleran dan solidaritas sebagai praksis dari iman Kristen.

Banyak perdebatan mengenai spiritualitas orang Kristen selama pandemi ini. Di mulai dengan mempertanyakan apakah ibadah virtual efektif membangun jemaat? apakah semudah itu beralih dari gereja ke virtual? Tentu model pelayanan ini tidaklah mudah, apalagi rata-rata gereja di Indonesia masih belum menggunakan teknologi digital sebagai media untuk beribadah. Gereja tiba-tiba harus belajar mengenai teknik merekam, baik dengan menggunakan perangkat ponsel sederhana, ponsel pintar, hingga kamera canggih; mulai dari merekam di rumah, di ruang ibadah, hingga secara khusus menyiapkan studio rekaman.3 Peralihan aktivitas manusia ke dalam system jaringan memang memiliki dampak yang positif, salah satunya yaitu orang-orang maupun lembaga gereja dipaksa untuk mengusahakan diri dengan beradaptasi dan menguasai teknik-teknik penggunaan alat maupun program-program internet itu sendiri. Artinya bahwa manusia akan semakin mengerti dan bisa menjangkau jejaring media sosial yang ada. Apakah ada kekhawatiran akan hal itu? Ya, menurut penulis, pengetahuan manusia terkhusu orang-orang Kristen akan sistem teknologi di sisi lain bisa membahayakan. Selama pandemi Covid-19 berlangsung, inilah yang dihadapi seluruh manusia di belahan dunia termasuk di dalamnya umat Kristiani. Diperhadapkan dengan sebuah ruang yang memberikan pilihan untuk “tergerus atau tergerak”. Berikut penulis melihat realitas yang terjadi kepada sebagian orang Kristen yang terpengaruh oleh teknologi menurut hemat penulis; yang pertama, jiwa yang toleran antar sesama orang Kristen ataupun kepada orang-orang yang berbeda agama, suku, maupun ras telah berkurang. Sebagian orang telah masuk dalam ruang cyber, yang membuatnya menjadi eksklusif dan tidak menaruh perhatian yang baik terhadap lingkungannya yang berbeda. Sifatnya kemudian menjadi individualis, tidak menerima hal-hal diluar ruang lingkupnya. Teknologi adalah tempat ternyamannya untuk membiarkan diri digerus dan terjerat oleh berbagai macam tawarannya. Terdapat banyak kasus di pemberitaan media yang menggambarkan bahwa


3 Zakaria Ngelow dkk, Teologi Pandemi, “Panggilan Gereja di Tengah Pandemic Covid-19”, (Makassar: Oase Intim, 2021), 141.


betapa pengetahuan akan teknologi dan internet telah merusak pola pikir sebagian orang. Kegiatan inilah yang kemudian menyita begitu banyak waktu yang sebenarnya waktu tersebut bisa digunakan untuk melihat lingkungan sekitar yang membutuhkan, mungkin saja dari sekedar saling menyapa satu dengan yang lain, atau bahkan menjumpai hal yang membutuhkan kekuatan dan pertolongan dibandingkan sekedar menutup diri dalam kekangan telepon pintar.

Yang kedua, solidaritas kepada orang lain yang membutuhkan pertolongan terkhusus dalam masa susah pandemic juga merosot. Andreas Yewangoe mengatakan bahwa melalui pandemi Covid-19, orang dipanggil untuk bertanggung jawab atas kesejahteraan manusia, diingatkan untuk saling bergantung, dan melalui kesempatan ini, untuk menemukan keberanian dan kepedulian yang yang menopang. Yewangoe juga mengingatkan untuk kembali memperhatikan keseimbangan antara budaya (culture) dan alam (nature).4 Sangat disayangkan bahwa dalam situasi sulit pandemi, tidak semua orang memiliki perhatian untuk menggerakan hatinya, dan menyatakan kasihnya dengan mengulurkan tangan untuk menolong dan membantu orang-orang yang lebih membutuhkan. Jelas bahwa orang miskin selamat pandemi sangat terdampak, mereka kebingungan untuk memikirkan makanan di hari esok, dan tidak tahu bagaimana harus mencari uang sedangkan aktivitas sangat dibatasi. Ternyata tidak salah ketika orang-orang kecil selalu melawan aparat dan pemerintah ketika pemberlakuan pembatasan kegiatan dikeluarkan, karena bahkan untuk makan sehari saja harus diusahakan hari itu juga, tidak ada simpanan uang yang bisa digunakan selama berdiam diri di rumah. Dari hal ini menjelaskan bahwa sebagian orang belum bisa bertanggung jawab untuk orang lain, belum bisa menjadikan diri sebagai sumber pertolongan, belum bisa menghidupkan rasa peduli dengan orang lain, singkatnya bahwa solidaritas menjadi merosot. Masih ingatkah dengan peristiwa di mana Yesus menyembuhkan orang buta di jalan dekat Yerikho? Peristiwa penyembuhan itu terjadi pada saat Yesus dan murid-murid-Nya melintasi kota Yerikho untuk terakhir kalinya sebelum tiba di Yerusalem, di mana Yesus akan mati dan di salibkan. Orang buta tersebut duduk di pinggir jalan dan mengemis. Yesus mendengar seruan orang buta yang sedang mengemis itu dan suara imannya menggerakan hati Yesus untuk menolongnya dengan menyatakan mujizat kesembuhan kepadanya. Dengan demikian bahwa Allah terlebih dahulu menyatakan solidaritasnya kepada orang susah, menderita, miskin, dan orang yang lemah. Ketika mengetahui dan mengerti akan hal tersebut, maka sebenarnya tidak ada lagi alasan untuk tidak berlaku serupa dengan apa yang Yesus


4 Andreas A. Yewango, Menakar Covid-19 secara Teologis, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2020), 19.


lakukan yakni menanamkan jiwa solidaritas di dalam diri setiap orang percaya atau orang Kristen. Penulis mengangkat toleransi dan juga solidaritas sebagai akar masalah dalam tulisan ini di mana hal tersebut beranjak dari pengalaman dan pengamatan di dalam lingkungan masyarakat. Terlepas dari pada praksis iman yang lebih luas, kedua hal tersebut mengambil bagian dalam kesempatan ini untuk penulis kaji lebih secara dalam.

Toleransi Sebagai Praksis Iman Di Masa Pandemi

Kurang lebih dua tahun sudah dunia diliputi dengan pandemic Covid-19, negara Indonesia termasuk di dalamnya yang masih berusaha melakukan penanganan untuk memulihkan keadaan menjadi normal dan lepas dari cengkraman virus ini. Virus yang muncul dari kota Wuhan, Ibu kota Provinsi Hubei di Republik Rakyat Cina, ini telah memaksa untuk sejenak beranjak dari aktifitas luar rumah dan membatasi untuk saling berinteraksi satu dengan yang lainnya.  

Ketika ‘’relasi’’ menjadi suatu persoalan bahwa manusia menjadi eksklusif, maka tidak bisa dipungkiri bahwa pandemi membatasi interaksi dengan lingkungan bebas dan luas, sehingga komunikasi sangat terbatas, pergaulan yang tidak luas, dan pengenalan akan orang lain pun terbatas. Lantas apakah sekarang akan menyalahkan keadaan atas realitas yang terjadi dalam diri sebagian orang yang telah eksklusif? Ataukah pasrah dengan kondisi yang bahkan membuat tidak berdaya dan hidup dalam keterbatasan? Tak hanya kekangan pandemi, perbedaan menjadi salah satu alasan mengapa “relasi” tidak terjalin dengan baik, bahkan sebelum pandemic hal ini telah menjadi pembicaraan yang sangat hangat. Ellya Duta Makarawung membagi perbedaan menjadi 4 jenis yakni; agama, denominasi, rasialisme, dan kemewahan dan materialisme.5 Teknologi menjadi dasar dari persoalan ini. Penulis pernah mendengar suatu pernyataan dalam sebuah kegiatan webinar beberapa waktu lalu, bahwa kemudahan mengakses internet nyatanya mengubah pola hubungan interpersonal yang menentukan norma dalam bertindak dan berinteraksi. Masifnya perkembangan teknologi tidak lagi terbatas dalam melihat penggunanya, semua kalangan, anak-anak, remaja, pemuda, orang tua, orang kaya, orang miskin dan golongan-golongan lainnya telah berhasil mengakses teknologi dengan fitur jejaring sosial yang ditawarkan. Internet menjadi sebuah sistem jaringan yang mengantar


5 Ellya Duta Makarawung, Sangkar Emas Agama, (Solo: Spirit Grafindo, 2017), 43.


manusia ke dalam dunia baru syber (cyberspace).6 Inilah adalah ruang metaforis yang ada dalam pikiran manusia, terutama ketika bercakap-cakap dengan orang lain, seolah-olah sedang bertemu dalam ruang tertentu.7 Brauchler juga mengatakan;

“Virtual of refer to the ‘imaginary’ which is integral component of the ‘real’ human world, but can still differ qualitatively”.8

Kehidupan di dunia maya adalah kelanjutan “dengan kehidupan nyata”. Orang-orang melakukan online hampir seperti apa yang mereka lakukan saat offline tetapi dengan cara yang berbeda. Dengan demikian bahwa, efektivitas teknologi cukup dalam bagi kehidupan para penggunanya, termasuk umat Kristen. Sangat baik ketika manusia sebagai pengguna tergerak” untuk mengendalikan arus teknologi, tetapi dengan melihat realitas di atas bahwa, justru orang-orang dikendalikan oleh arus teknologi yang semakin masif berkembang di era pandemic. Penyebabnya apa? Apakah karena tidak siap untuk menerima dan beradaptasi dengan perkembangan zaman, ataukah keterbatasan dalam melihat dan mempelajari sistem-sistem yang baru? Mungkin banyak penelitian di luar sana yang bisa menjawab pertanyaan tersebut dengan pemaparan yang lebih jelas. Namun untuk saat ini, menurut hemat penulis bahwa ketidaksiapan untuk menerima dan beradaptasi dengan perkembangan zaman adalah penyebabnya. Semua orang dikagetkan dengan sebuah wabah penyakit yang seketika mengubah dunia dan manusia dengan perubahan pola hidup dari luar ruangan ke dalam jaringan. Sesuatu yang sangat tiba-tiba dan mengagetkan manusia yang tanpa persiapan lalu harus memasuki kebiasaan yang baru di dalam jaringan. Suatu tuntutan yang sulit untuk dihadapi.

Toleransi menjadi salah satu hal yang utama dalam menciptakan kedamaian dan kesejahteraan di dalam perbedaan sebagai praksis beriman orang Kristen. Seperti yang diketahui bahwa pada masa pandemic ini sangat sulit atau bahkan tidak sebebas dulu untuk melakukan kegiatan di luar rumah, meskipun demikian namun mestinya hal itu tidak menyurutkan semangat untuk saling menghargai dan membantu orang lain sebagai wujud toleransi yang bisa dinyatakan dalam kehidupan sehari-hari, supaya hal ini menjadi bukti bahwa sekalipun di era pandemi Covid-19 ini, tetap bisa saling bertoleransi kepada umat beragama dan kepada perbedaan-peredaan lainnya tanpa adanya sikap egoisme. Sebuah


6 Mick M. Sopacoly & Izak Y.M.. Lattu, Christianity Online Spirituality “Cyber Theology as a Contribution to Theology in Indonesia”. Gema Teologika, Vol.5 No.2, (Oktober 2020): 141.

7 Anthony Le Duc, Cyber/Digital Theology: Rethinking About Our Relationship With God and Neighbor in Digital Environment”, Religion and Social Communication, Vol. 13. No. 2, (Desember 2015):130.

8 Birgit Brauchler, Cyberidentities at War, (New York: Berghahn, 2013), 14.


ayat Alkitab mengatakan bahwa, “setiap orang di antara kita harus mencari kesenangan sesama kita demi kebaikannya untuk membangunnya” (Rom. 15:2). Ayat tersebut merujuk kepada semua orang dengan perintah untuk saling membangun satu dengan yang lain. Artinya bahwa tindakan intoleransi atau menolak perbedaan adalah tindakan yang menolak untuk saling membangun satu dengan yang lain. Penerimaan terhadap perbedaan merupakan tindakan untuk saling membangun, baik dalam keadan lemah maupun susah, sama halnya dengan keadaan banyak orang dalam era pandemi Covid-19 ini.

Sepertinya sulit ketika berbicara tentang perbedaan tanpa ada keterbukaan hati untuk menerima perbedaan itu sendiri. Terbukti bahwa istilah “toleransi” sudah ada sejak lama, namun masih saja menjadi pembahasan hingga di masa sekarang ini, kenapa? Karena tidak semua orang bisa rendah hati untuk menerima orang lain yang berbeda, bahkan dalam situasi prihatin seperti dalam masa pandemi. Dalam situasi pandemi Covid-19 sudah seharusnya orang-orang Kristen tidak bersikap egois atau hanya memperdulikan diri sendiri melainkan hendaknya menunjukkan kepedulian terhadap orang lain. Kepedulian itu dapat terlihat, misalnya, ketika menjaga diri supaya tidak tertular ataupun menularkan virus. Jangan sampai orang Kristen menjadi egois, demi kesenangan diri sendiri, akhirnya menjadi tidak peduli dengan kesehatan orang lain.

Solidaritas Sebagai Praksis Iman Di Masa Pandemi

Relasi yang tidak berkembang dengan baik tidak hanya menjebak seseorang dalam eksklusivisme. Solidaritas yang merupakan praksis dari iman Kristen pun kian memprihatinkan. Ketika penularan Covid-19 meluas menjadi pandemi, pemerintah Indonesia pun segera menerapkan aturan penjarakan social (social distancing) dan penjarakan fisik (physical distancing), kebijakan ini telah berdampak pada pendapatan dan daya topang kehidupan ekonomi sehari-hari sebagian warga masyarakat hingga sulit memenuhi kebutuhan mereka. Kebijakan ini telah menyebabkan banyak pekerja yang dirumahkan dan atau di- PHK, terutama mereka yang bekerja di sektor non-formal.9 Berdasarkan hal tersebut, maka tentu begitu banyak masyarakat yang terdampak dari segi ekonomi dan dominan pada masyarakat kelas menengah ke bawah. Bantuan pemerintah dan lembaga-lembaga kemudian dikerahkan untuk menolong mereka yang membutuhkan. Namun bagaimana dengan secara individu? Sekarang sedang berbicara tentang solidaritas. Dalam keadaan di mana


9Zakaria Ngelow dkk, Teologi Pandemi, “Panggilan Gereja di Tengah Pandemic Covid-19”, (Makassar: Oase Intim, 2021), 54


masyarakat miskin menjerit dalam ketidakmampuan untuk hidup, maka yang masih mampu dan berkecukupan sedang di uji jiwa kemanusiaannya. Ini salah satu tanggung jawab sebagai manusia untuk saling membangun satu dengan yang lainnya dengan berakar pada solidaritas. Sebagai orang Kristen, memang mungkin tidak dapat menjawab alasan terjadinya pandemic, tetapi dapat ikut berbela rasa, termasuk meratap bersama, sebagai wujud kepedulian di tengah kesusahan.10 Sebagai orang yang telah menerima anugerah tebusan Yesus Kristus di atas kayu salib, maka telah dibenarkan oleh-Nya. oleh karena itu, sebagai orang benar, tentu harus bertindak sesuai dengan kebenaran suci. Nabi Yeheskiel menjelaskan tentang apa dan bagaimana menjadi orang benar menurut tradisi Perjanjian Lama sebagai berikut:

"Kalau seseorang adalah orang benar, dan ia melakukan keadilan dan kebenaran, dan ia tidak makan daging persembahan di atas gunung atau tidak melihat kepada berhala-berhala kaum Israel, tidak mencemari isteri sesamanya dan tidak menghampiri perempuan waktu bercemar kain, tidak menindas orang lain, ia mengembalikan gadaian orang, tidak merampas apa- apa, memberi makan orang lapar, memberi pakaian kepada orang telanjang, tidak memungut bunga uang atau mengambil riba, menjauhkan diri dari kecurangan, melakukan hukum yang benar di antara manusia dengan manusia, hidup menurut ketetapan-Ku, dan tetap mengikuti peraturan-Ku dengan berlaku setia ialah orang yang benar, dan ia pasti hidup, demikianlah firman Tuhan Allah." (Yeh. 18:5-9; 18:10-13, 16-17).

Penulis mengingat sebuah kisah haru yang memperlihatkan ketulusan hati memberi dari kekurangan dan keterbatasan. Singkat cerita, kami mahasiswa STT Intim Makassar menjalankan aksi kemanusiaan dengan meminta sumbangan di lampu merah Cendrawasih beberapa saat yang lalu, di mana hasil sumbangan itu akan kami berikan kepada saudara-saudara di Walmasi yang terkena bencana banjir. Yang menarik perhatian beberapa kami yang menyaksikan bahwa ada seorang difabel yang berjalan menggunakan kursi roda yang terbuat dari kayu turut memberikan sumbangannya. Yang semakin membuat haru adalah, beliau memiliki kotak yang terhubung dengan kursinya, fungsi kotak itu adalah untuk meminta sedekah. Artinya bahwa kami dan orang tua tersebut sedang dalam posisi dan keadaan yang sama, yakni meminta sumbangan atau sedekah. Sebuah realitas praksis iman


10 Brury Eko Saputra dan Linus Baito, Berteologi di tengah Pandemi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2021), 71.


telah diperlihatkan oleh orang tua yang murah hati tersebut. Penulis menjulukinya sebagai ‘’the power of solidarity’’. Selama menjalankan aksi di lampu merah, kami menjadi saksi nyata, bahwa yang tergerak hatinya untuk memberikan sumbangan hanya mereka yang justrus berasal dari kalangan bawah. Begitu banyak orang yang melintas dengan menggunakan seragam dinas dan plat kendaraan berwarna merah, hanya saja tidak memberikan perhatian terhadap aksi yang kami jalankan. Apakah ini yang dinamakan "krisis solidaritas di kalangan penguasa?" Tindakan orang tua di atas mengingatkan pada perilaku baik orang-orang Kristen di tengah kondisi yang susah sudah terjadi sejak zaman para rasul. Salah satunya di mana Paulus memakai teladan orang Kristen di Makedonia supaya mendorong orang Kristen di Korintus untuk juga kaya dalam pelayanan kasih, ‘’selagi dicobai dengan berat dalam pelbagai penderitaan, sukacita mereka meluap, dan meskipun mereka sangat miskin, namun mereka kaya dalam kemurahan.’’(2 kor. 8:2). Penulis pernah mendengar dari berita Televisi yang mengatakan bahwa selama masa pandemic, justrus ada oknum-oknum tertentu dalam pemerintahan yang tambah kaya. "Orang kaya tambah kaya, orang miskin tambah miskin." Mungkin istilah tersebut bisa menggambarkan keadaan ekonomi masyarakat selama pandemic berlangsung. akibatnya, masyarakat miskinlah yang harus merasakan penderitaan dalam mengusahakan hidupnya untuk tetap bertahan.

Refleksi Teologis Dari Kitab Suci

Dari penjelasan di atas, dapat di mengerti bahwa pengaruh teknologi di masa pandemi telah menggerusiman sebagian orang Kristen. Nilai-nilai kekristenan tidak menjadi perhatian dalam kehidupan sehari-hari. Terbuka menerima kemajemukan, dan solidaritas terhadap orang-orang yang membutuhkan pertolongan tidak lagi dilihat sebagai bagian dari tanggung jawab untuk dipenuhi. Ketika kembali ke dalam kitab suci, maka kembali diingatkan untuk berefleksi dari apa yang telah diajarkan selaku orang- orang yang beriman kepada Yesus Kristus. Melba Padilla Maggay, menjelaskan hukum- hukum dalam Perjanjian Lama yang mengatur pertolongan kepada kaum miskin dan lemah.

Larangan untuk menuntut Bunga pinjaman kepada orang miskin. Pakaian yang digadaikan harus dikembalikan pada pemiliknya sebelum matahari terbenam agar yang bersangkutan dapat melindungi tubuhnya ketika malam. Seorang budak boleh memilih untuk bebas setelah enam tahun masa bakti. Demikian juga tanah harus dikosongkan setiap diolah selama enam tahun agar dapat dimanfaatkan pada tahun ketujuh oleh orang miskin (kel. 22:25-27, 21:2, 23:11). Orang-orang di dorong untuk tidak mengeraskan hati atau menutup tangannya terhadap mereka yang membutuhkan


pertolongan (Ul. 15:7-11). Hasil panen juga harus ditinggal sebagian bagi para musafir, kaum yatim, dan janda (Ul. 24:19-21). Kemudian di dalam kitab Perjanjian Baru, Yesus menyuruh murid-murid-Nya untuk menjual miliknya dan memberikan sedekah (Luk. 12:33). Di situ juga dicatat kisah orang Samaria yang baik hati sebagai teladan untuk menolong sesama manusia dengan cara sangat bermurah hati (Luk.10:25-37). Yesus juga menyatakan bahwa Zakheus diselamatkan pada waktu ia menawarkan untuk membagikan separuh hartanya kepada orang miskin (Luk. 19:8- 9). Sebaliknya Ia memberikan komentar kepada orang kaya yang tidak bersedia menjual seluruh miliknya dan memberikan hasilnya kepada orang miskin.11

Ketika menyadari bahwa nilai-nilai Kristen tidak lagi menjadi prioritas bahkan memudar dalam kehidupan sehari-hari, maka perlu adanya refleksi terhadap apa yang menjadi dasar sebagai orang Kristen yaitu Alkitab. Perlu kembali ke dalam Alkitab. Dengan cara demikian, maka akan terus dibaharui oleh firman Allah yang memberikan ajaran, nasehat-nasehat, teguran, dan bahkan akan menolong untuk kembali kepada apa yang seharusnya dilakukan.

Kesadaran untuk menganggap sesama sebagai saudara manusia akan membawa pada kehidupan persaudaraan yang rukun dan sejahtera, di mana di dalamnya toleransi atas perbedaan akan junjung tinggi, solidaritas sebagai rasa kemanusiaan terhadap sesama yang membutuhkan juga akan menjadi perhatian. Magnis Suseno mengatakan bahwa, orang percaya diutus untuk ikut membangun masyarakat.13 Artinya bahwa perlu bertanggungjawab untuk memberikan harapan kepada mereka yang putus asa, memberikan perlindungan kepada yang lemah, dan menolong orang miskin. Lebih lanjut dalam penjelasannya bahwa dasar partisipasi untuk orang lain dapat diwujudkan dalam beberapa aspek sosial;

Setiap orang bernilai pada dirinya sendiri dan oleh karena itu harus diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri. semua orang sebagai manusia, bernilai sama, sama derajatnya, otonomi dasar setiap orang sebagaimana terungkap dalam suara hati dan kemampuan untuk bertanggung jawab harus dihormati. Tuntutan kesetiakawanan dengan segenap sesama sebagai saudara Kristus. Perhatian khusus terhadap mereka yang lemah, miskin, yang menderita, dan yang diperlakukan dengan tidak adil.14

Sesamaku adalah pribadiku yang lain”. Semboyan yang dipopulerkan oleh salah satu dosen, Ishak Ngerjaratan, telah menjadi ciri yang khas bagi mahasiswa STT Intim dalam menjalin dan membangun persaudaraan satu dengan yang lain. Semboyan tersebut hendaknya terus dipegang teguh dalam jiwa setiap orang untuk hidup dalam kedamaian dan kesejahteraan. Sejatinya, dalam situasi dan keadaan mencekam Covid-19, orang-orang atau umat Kristen musti lebih giat dalam melihat situasi yang membutuhkan pertolongan. Bukan malah sebaliknya, tidak peka dan tidak prihatin terhadap keadaan orang-orang yang menderita. Pandemi Covid-19 adalah kesempatan bagi orang- orang Kristen untuk semakin mengalami Tuhan dalam hidup mereka. pengalaman itu dapat


13 Magnis Suseno dkk, Aspek-Aspek Teologi Sosial, (Yogyakarta: Kanisius,1988), 177.

14 Magnis, Aspek-Aspek Teologi Sosial, 179.    


terjadi melalui praktik kebijakan dan pergumulan iman mereka.15 Mari mulai dari diri sendiri sebagai individu. Penulis memaknai pernyataan Joas Adiprasetya bahwa, spiritualitas sebaiknya beranjak dari personal atau diri sendiri sebagai individu, karena yang personal selalu bermakna ketika ia dihidupi dalam realitas interpersonal, komunal, social, bahkan global.16

Orang-orang miskin dalam mengusahakan kehidupannya tidaklah muda. Namun bukan berarti kehidupan dan perjuangannya tidak diperhitungkan oleh Allah. Pada kesempatan ini, penulis akan memberikan sebuah ayat di mana menunjukan posisi orang- orang miskin bukan posisi rendahan. Memang di mata manusia dan dunia orang-orang miskin tidak mendapat tempat yang layak, tetapi di mata dan pandangan Allah, orang-orang miskin memiliki tempat yang khusus bahkan dikatakan bahwa merekalah yang empunya kerajaan sorga. Hal ini dapat disaksikan melalui dialog Yesus dengan Yohanes Pembaptis:

“Di dalam penjara Yohanes Pembaptis mendengar tentang kerajaan- pekerjaan Yesus, lalu menyuruh murid-muridnya bertanya kepada-Nya: Engkaukah yang akan datang itu, atau, haruskah kami menantikan orang lain? Yesus menjawab merek: pergilah dan beritakanlah Yohanes apa yang kamu dengar dan kamu lihat: Orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati di bangkitkan, dan kepada orang miskin akan diberitakan kabar baik” (Mat.11:2-5). Orang miskin memiliki tempat yang khusus. Kepada mereka diberitakan Kerajaan Allah. Berbahagialah kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah” (Luk. 6:20). “Roh Tuhan ada di atasku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin” (Luk. 4:18).

Sekiranya ayat di atas menjadi penghibur dan kekuatan bagi orang-orang miskin, untuk tetap hidup dengan rasa syukur di dalam hidupnya. Berlandaskan dari ayat Alkitab di atas, maka dapat di pahami bahwa kaum miskin atau orang-orang miskin bukan lagi kaum yang tertindas, yang tidak memiliki kedudukan dan hak suara dalam masyarakat. Kedatangan kerajaan Allah berarti pengakhiran kemiskinan, dan memulihkan kelemahan. Maka dari itu, tidak ada lagi alasan bagi orang-orang miskin untuk menyerah dalam menghadapi hari-hari


15 Brury, Berteologi di tengah Pandemi, 71.

16 Joas Adiprasetya, labirin Kehidupan, Spiritualitas Sehari-Hari bagi Peziarah Iman, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018), 57.


hidupnya. Poin pentingnya bahwa sebagai orang-orang benar yang telah diselamatkan oleh Yesus Kristus di atas kayu salib, maka kewajiban untuk berlaku sebagai orang-orang yang memang telah diselamatkan dengan cara mengimplementasikan nilai-nilai kekristenan dalam segala situasi, dan dalam hal ini menjalin hubungan yang baik dan toleran dengan orang yang berbeda, dan memiliki jiwa-jiwa solidaritas terhadap segala sesuatu yang dijumpai dimanapun berada, dan dalam situasi apapun tanpa memandang status dan perbedaan.

Penutup

Praksis iman “tergerus atau tergerak” oleh efektivitas teknologi di era pandemi Covid-19? Suatu tema yang membawa pada kesimpulan bahwa spiritualitas sebagian orang Kristen telah "tergerus" oleh pengaruh teknologi yang tidak bisa terkendalikan dengan baik oleh diri setiap pengguna dalam era pandemi ini. Teknologi komunikasi telah membuat besarnya dunia tak lebih dari genggaman tangan, peristiwa di ujung dunia sangat cepat diakses, hanya dengan satu klik.17 Terkurung dalam jaringan membuat sebagian orang eksklusif dan menutup diri dari lingkungan yang terbuka. Kesadaran untuk menerima orang lain, juga kesadaran untuk membaurkan diri ke dalam suatu perkumpulan yang lebih luas yang di dalamnya tersaji kemajemukan pun dihindari. Seolah-olah dunia terlihat sangat asing dan enggan untuk mendekatkan diri. Seketika orang lain menjadi musuh yang harus dihindari untuk tidak mendapatkan kesakitan, diam dengan adaptasi yang baru bersama "telepon pintar" lebih menarik dan telah menjadi zona nyaman yang menjadi candu. Solidaritas yang telah diajarkan oleh Yesus tidak lagi diimani dalam kehidupan sehari-hari umat-Nya. Tanggungjawab diri terhadap orang lain menjadi pudar dan tidak dipenuhi. Tolong menolong, saling mengasihi, saling memperhatikan, dan yang lainnya tidak lagi lihat sebagai suatu keharusan. Dalam situasi yang sangat sulit inilah mestinya rasa empati sebagai umat Kristen tidak boleh pudar. Refleksi di atas sekiranya mendapat tempat di dalam hati masing- masing sebagai pembaca tulisan ini, dan penulis berharap bahwa praksis beriman tetap pegang teguh dalam kehidupan sebagai orang-orang yang telah dibenarkan oleh Yesus Kristus di atas kayu salib.  


17 Meitha Sartika & Hizkia A. Gunawan, Ecclesia In Transitu, Gereja di tengah Perubahan Zaman, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018), 37.


Daftar pustaka

Alkitab

Adiprasetya, Joas. labirin Kehidupan, Spiritualitas Sehari-Hari bagi Peziarah Iman. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018.

Brauchler, Birgit . Cyberidentities at War. New York: Berghahn, 2013.

Dermawan, Flora Honey. Kecanduan internet pada mahasiswa program study kebidanan sebagai dampak PJJ di era pandemic, mungkinkah?, PIN-LITAMAS II, Vol. 2, No. 1: 147 (2020).

Duc, Anthony Le.Cyber/Digital Theology: Rethinking About Our Relationship With God and Neighbor in Digital Environment”, Religion and Social Communication, Vol. 13. No. 2, (2015).

Makarawung , Ellya Duta. Sangkar Emas Agama. Solo: Spirit Grafindo, 2017. Maggay, Melba Padilla. Transformasi Masyarakat. Jakarta: Cultivate, 2004.

Ngelow , Zakaria. Teologi Pandemi, “Panggilan Gereja di Tengah Pandemic Covid-19”.

Makassar: Oase Intim, 2021.

Nafy’, M. Zidni. Menjadi Islam, Menjadi Indonesia, Jakarta: Kompas Gramedia, 2018. Suseno, Magnis dkk. Aspek-Aspek Teologi Sosial. Yogyakarta: Kanisius,1988.

Sopacoly, Mick M, & Lattu,Izak Y.M. Christianity Online Spirituality “Cybertheology as a Contribution to Theology in Indonesia”. Gema Teologika, Vol.5 No.2, (2020).

Sartika, Meitha. & Gunawan, Hizkia A. Ecclesia In Transitu, Gereja di tengah Perubahan Zaman. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018.

Yewango, Andreas A. Menakar Covid-19 secara Teologis. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2020.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar